Selasa, 05 Januari 2016

Secercah Asa dan Rasa Syukur di Kota Tua


Penjual Uli keliling bisa menjadi profesi yang terkadang dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Meski hanya berjualan uli, bisa saja pekerjaan ini menjadi mulia. Keikhlasan dan kesabaran dalam menantikan pembeli merupakan kunci lakunya uli bakar yang dijual. Itulah profesi yang sedang dijalani oleh Bayu (40) di Kota Tua, Museum Fatahillah. Ayah dari dua orang anak ini sudah empat tahun menjalani aktivitas ini. Ia meyakini, berjualan uli di Kota Tua menjadi pintu harapan penghasilan yang berkah untuk keluarganya.
Baginya, Jakarta ialah kota bebas bagi orang-orang yang mau berusaha seperti dirinya. Lelaki kelahiran Tasik ini, setiap harinya mendapatkan penghasilan sekitar Rp 50.000 hingga Rp 400.000. Meski penghasilannya tak seberapa, ada keasyikan tersendiri saat jualan. Beberapa kali ada razia di Kota Tua, penjual keliling selalu diuntungkan. Biasanya, peraziaan dari polisi hanya untuk pedagang yang menetap di lokasi. Jualan uli pun selalu disyukuri oleh Bayu.
Sebelum berjualan di Kota Tua, Ia sudah pernah bekerja di Bandung sebagai penjaga toko. Akan tetapi, pekerjaan menjaga toko hanya mendapatkan gaji yang tetap dan kecil. Hadirnya dua anak kecil membuatnya berpikir untuk bisa menghasilkan uang yang lumayan banyak. Mengadu nasib di Jakarta menjadi satu-satunya cara untuk memperbaiki kehidupannya. Pekerjaan menjual uli pun menjadi pilihan  agar bisa bertahan hidup.
Alasan memilih berjualan uli berawal dari ajakan orang yang tidak Ia kenali. Ketika baru menginjakan kaki di Jakarta, langkahnya berhenti di Kota Tua. Jakarta Kota ialah tempat pemberhentian stasiun kereta yang terakhir. Hatinya pun mengarahkan ke Kota Tua dan duduk sejenak merasakan sensasi malam tempat wisata itu. Kondisi waktu  itu, wajah Bayu terlihat seperti orang bingung yang tak tau arah. Salah satu penjual uli pun ada yang menghampirinya dan mengajak berjualan uli. Di situlah awal mula ajakan orang lain yang kini sama-sama berjualan uli juga. Beruntungnya, beberapa penjual uli tinggal satu rumah di dekat Kota Tua dan Bayu bisa bergabung dengan teman-temannya.
Selain itu, uli yang Ia jual bukan buatan dari tanganya sendiri. Ia hanya menjual dari pemilik produsen pembuat uli. Disamping itu, meski uli yang dijual tanpa bahan pengawet, uli-uli tersebut dapat bertahan selama dua hari. Hal ini memudahkannya dan bisa menjual uli pada keesokan harinya. Dalam benaknya, Ia tidak akan berputus asa. Kehidupan yang Bayu dapatkan sangat disyukurinya. Meski hanya berjualan uli, Ia tetap mempunyai prinsip agar tidak meminta-minta. Berjualan dari siang hingga malam dan membayar uang sewa tiap hari selalu Ia terima.



0 komentar:

Posting Komentar